Header Ads

Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Tidak Urgent dan Revisi UU TNI Mengancam Demokrasi

[caption id="attachment_2297" align="alignnone" width="300"] Al Araf Ketua Centra Initiative dan Peneliti Senior imparsial[/caption] Pada 8 Agustus 2022 Kepala Biro Persidangan, Sisfo, dan Pengawasan Internal Wantannas Brigjen TNI I Gusti Putu Wirejana di depan media mengaku sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi terkait perubahan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) menjadi Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas/ DKN). Beriringan dengan wacana pembentukan DKN ini, juga muncul usulan untuk melegalkan anggota TNI aktif untuk dapat menduduki jabatan sipil atas permintaan dari institusi atas persetujuan Presiden. Usulan ini disampaikan oleh Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat (5/8/2022). Usulan ini akan dilakukan melalui revisi UU TNI yang akan dibahas di DPR dalam Prolegnas tahun 2022 ini. Kami memandang dalam hal rencana pembentukan DKN perlu mengindahkan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Hal ini mengingat DKN merupakan lembaga yang sangat strategis, karena akan memberikan pertimbangan kepada presiden seputar isu tentang keamanan nasional, seperti situasi bahaya, darurat, maupun perang, maka proses pembentukannya sudah seharusnya dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Wacana pembentukan DKN sebetulnya merupakan agenda lama yang dulu berusaha dimasukan dalam RUU Kamnas. Namun, karena mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil, RUU Kamnas pun gagal untuk disahkan. Dengan demikian, langkah pemerintah saat ini yang akan membentuk DKN melalui Perpres terkesan sebagai upaya menghindari kontrol dan kritik, baik dari DPR maupun masyarakat sipil. Selain itu, kami memandang, urgensi pembentukan DKN saat ini juga patut dipertanyakan mengingat pembentukan DKN akan menimbulkan tumpang tindih kerja dan fungsi dengan lembaga negara yang sudah ada. Sebagaimana diketahui saat ini sudah ada lembaga yang melakukan fungsi koordinasi di bidang keamanan yaitu Kemenko Polhukam. Sedangkan, dalam hal memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, telah ada lembaga yang menjalankan fungsi tersebut yakni Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), ), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Kantor Staf Presiden (KSP). Jika pemerintah tetap bersikeras ingin membentuk DKN, maka fungsi lembaga tersebut harus dibatasi hanya untuk memberikan pertimbangan/ nasehat kepada Presiden.. Pembentukan DKN yang dilakukan secara terburu-buru dan terkesan tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru negara kepada masyarakat seperti halnya pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru. Lebih lanjut dalam hal revisi UU TNI kami memandang, wacana penempatan TNI dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI merupakan usulan yang keliru dan bermasalah. Usulan tersebut jika benar diakomodir dalam revisi UU TNIjelas akan mengancam demokrasi karena melegalisasi kembalinya praktik Dwi fungsi ABRI seperti pada masa otoritarian Orde Baru. Penting untuk diingat, penghapusan Dwi-fungsi ABRI yang dilakukan pada saar transisi menuju Demokrasi pada tahun 1998 tidak hanya sebentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia. Salah satu praktik Dwi-fungsi ABRI yang dihapuskan adalah penempatan anggota TNI aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Kendati demikian, terdapat pengecualian yakni militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI). Oleh karena itu kami memandang, agenda penempatan militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga bertujuan untuk pembangunan dan penataan TNI sangat patut diragukan dan dicurigai. Jika usulan tersebut diakomodir dalam revisi UU TNI, maka ia tidak hanya akan merusak dinamika internal TNI, tapi juga kehidupan politik demokrasi secara keseluruhan di Indonesia. Jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non-job di dalam TNI, upaya lain untuk menyelesaikan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain, seperti melalui perbaikan proses rekrutmen prajurit, pendidikan, kenaikan karir dan kepangkatan. Berbagai agenda tersebut jauh lebih penting untuk dilakukan, bukan membuka ruang penempatan mereka pada jabatan-jabatan sipil yang hanya akan memunculkan masalah baru di kemudian hari. Kami menilai, wacana penempatan TNI dalam jabatan sipil adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI sendiri mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat. Sudah seharusnya TNI fokus menjadi alat pertahanan yang profesional. Dengan kata lain wacana penempatan prajurit aktif ke dalam jabatan-jabatan sipil justru akan mengganggu fokus dan kesiapan prajurit dalam menghadapi ancaman perang ke depan, bahkan lebih jauh merusak tata kelola sistem pemerintahan yang demokratis. Kami menilai, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada tahun 1998. Oleh karena itu, kalangan elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan-pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru. Al Araf Ketua Centra Initiative dan Peneliti Senior imparsial Jhonlin Jhonlin Group Jhonlin Indonesia Jhonlin Blog Jhonlin Groups Jhonlin Pinterest Jhonlin Kaskus https://detik.in/tag/jhonlin-group/ https://detik.in/tag/jhonlin-grup/ https://halodunia.net/tag/jhonlin-group/ https://halodunia.net/tag/jhonlin-grup/ https://halodunia.co.id/tag/jhonlin-group/ https://halodunia.co.id/tag/jhonlin-grup/ https://bacasaja.co.id/tag/jhonlin-group/ https://bacasaja.co.id/tag/jhonlin-grup/ https://www.kaskus.co.id/@jhonlingroup/ https://pojokbaca.info/2022/08/28/pembentukan-dewan-keamanan-nasional-tidak-urgent-dan-revisi-uu-tni-mengancam-demokrasi/?feed_id=5564&_unique_id=630a6df937118

No comments

Powered by Blogger.